Halaman

Kamis, 21 April 2011

tugas SI PSI

A. 1. Case Name : anak Hiperaktif (ADHD)
Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun bernama Bona dan bersekolah di sebuah TK. Bona yang selalu berlarian tanpa henti, membuat berantakan seluruh mainan tanpa menggunakannya untuk bermain (hanya dilempar-lempar kemana saja), sering memukul dan menendang tanpa alasan bahkan terkadang saat memegang benda juga digunakan untuk melempar atau memukul, makan sambil berlarian dan berantakan seluruh makanannya, tidak memperhatikan jika diberitahu sesuatu, suka berteriak-teriak kasar, dan membanting benda-benda terutama jika permintaannya tidak segera dipenuhi
2. Pre Condition
Pada pendekatan ini terapis memulainya dengan raport terlebih dahulu kepada subjek agar subjek merasa nyaman untuk melakukan terapi yaitu dengan memberikan pertanyaan umum seperti menanyakan kabarnya, menanyakan perasaannya selama perjalanan ketempat terapi, identitasnya dan juga memberikan pertanyaan khusus seperti menanyakan tentang minat subjek.
3. Actor who initiate
• Orangtua
• Therapist
4. Steps
• Therapist bertanya kepada orangtua klien
• Therapist mencatat seluruh riwayat klien
• Therapist mulai melakukan program peubahan prilaku dengan klien
5. Post Condition
Berdasarkan informasi yang didapat oleh terapis maka terapis dapat menggunakan jenis terapis seperti :
Terapi bermain
Dapat ditujukan untuk meminimalkan/menghilangkan perilaku agresif, perilaku menyakiti diri sendiri, dan menghilangkan perilaku berlebihan yang tidak bermanfaat. Hal ini dapat dilakukan dengan melatihkan gerakan-gerakan tertentu kepada anak, misalnya tepuk tangan, merentangkan tangan, menyusun balok, bermain palu dan pasak, dan alat bermain yang lain. Dengan mengenalkan gerakan yang lain dan berbagai alat bermain yang dapat digunakan maka diharapkan dapat digunakan untuk mengalihkan agresivitas yang muncul, juga jika anak sering berlarian tak bertujuan.
6. Actor who get benefit
• Therapist
• Klien
• Keluarga


B. 1. Case Name : Autis
Seorang anak laki-laki bernama Kevin berusia 5 tahun. Kevin Sebelumnya ia tampak normal. Responnya pun masih normal. Jika dipanggil misalnya, ia akan menoleh dan melihat siapa yang memanggilnya itu,” cara bicara Kevin yang lambat dan tidak jelas, bahkan, perilaku Kevin tampak semakin tidak seperti biasanya.
2. Pre Condition
Pada pendekatan ini terapis memulainya dengan raport terlebih dahulu kepada subjek agar subjek merasa nyaman untuk melakukan terapi yaitu dengan memberikan pertanyaan umum seperti menanyakan kabarnya, menanyakan perasaannya selama perjalanan ketempat terapi, identitasnya dan juga memberikan pertanyaan khusus seperti menanyakan tentang minat subjek.
3. Actor who initiate
• Therapist
• Orangtua
4. Steps
• Therapist bertanya kepada orangtua atau lingkungan sekitar subjek
• Therapist mencatat seluruh riwayat klien
• Therapist mulai melakukan konseling dengan memberikan terapi kepada klien



5. Post Condition
Terapi Autisme adalah penatalaksanaan anak dengan gangguan Autisme secara terstruktur dan berkesinambungan untuk mengurangi masalah perilaku dan untuk meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangan anak sesuai atau peling sedikit mendekati anan seusianya dan bersifat multi disiplin yang meliputi: (1) terapi perilaku berupa ABA (Applied Behaviour Analysis); (2) terapi biomedik (medikamentosa); (3) terapi tambahan lain yaitu, terapi wicara, terapi sensori integration, terapi musik. Adapun tujuan dari terapi Autisme adalah mengurangi masalah perilaku dan meningkatkan kemampuan belajar serta meningkatkan perkembangan anak agar sesuai atau paling sedikit mendekati anak seusianya.
6. Actor who get benefit
• Therapist
• Klien
• Keluarga


C. 1. Case name : Gangguan Anxietas menyeluruh
Seorang wanita bernama Rere berusia 19 tahun. Rere selalu merasa cemas ketika berbicara di depan orang banyak.
2. Pre Condition
Pada pendekatan ini terapis memulainya dengan raport terlebih dahulu kepada subjek agar subjek merasa nyaman untuk melakukan terapi yaitu dengan memberikan pertanyaan umum seperti menanyakan kabarnya, menanyakan perasaannya selama perjalanan ketempat terapi, identitasnya dan juga memberikan pertanyaan khusus seperti menanyakan tentang minat subjek.
3. Actor who initiate
• Therapist
• Klien


4. Steps
• Therapist bertanya kepada orang-orang di sekitar klien
• Therapist mencatat seluruh riwayat klien
• Therapist mulai melakukan konseling dengan menanyakan masalah-masalah seperti mengenai perasaannya untuk berbicara di depan satu atau dua orang sampai dengan perasaannya untuk berbicara di depan umum atau orang banyak.
• Therapist mengobservasi secara langsung hal-hal yang berkaitan seperti rasa tegang klien, was-was dll
5. Post Condition
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari subjek maka subjek dapat dibantu melalui Prosedur Desentisasi Sistematis yang didahului dengan Hierarki Kecemasan dan juga bisa menggunakan cognitive-behavioural therapy (CBT), pada CBT diberikan teknik pelatihan pernafasan atau meditasi ketika kecemasan muncul, teknik ini diberikan untuk penderita kecemasan yang disertai dengan serangan panik.
6. Actor who benefit
• Therapist
• Klien

Rabu, 06 April 2011

tugas SI psikologi (contoh kasus)

TUGAS SI

Kasus 1: anak Hiperaktif (ADHD)
1. Pendekatan
Pada pendekatan ini terapis memulainya dengan raport terlebih dahulu kepada subjek agar subjek merasa nyaman untuk melakukan terapi yaitu dengan memberikan pertanyaan umum seperti menanyakan kabarnya, menanyakan perasaannya selama perjalanan ketempat terapi, identitasnya dan juga memberikan pertanyaan khusus seperti menanyakan tentang minat subjek.
2. Menggali Informasi Subjek
Setelah melakukan pendekatan, terapis mencoba menggali informasi dari ibu subjek mengenai ketertarikannya untuk datang ketempat terapi tersebut, jika setelah ibu subjek memberikan keterangan bahwa subjek sering kali berperilaku yang selalu berlarian tanpa henti, membuat berantakan seluruh mainan tanpa menggunakannya untuk bermain (hanya dilempar-lempar kemana saja). Lalu terapis dapat memulai dengan pertanyaan-pertanyaan terbuka secara mendalam mengenai perilaku anaknya itu, yang tersusun dalam pedoman wawancara, seperti menanyakan. Selain menggunakan pedoman wawancara saat menggali informasi dari subjek terapis juga menggunakan alat tulis.
3. Memilih Terapi yang tepat
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari subjek mengenai perilaku subjek yang selalu berlarian tanpa henti, membuat berantakan seluruh mainan tanpa menggunakannya untuk bermain (hanya dilempar-lempar kemana saja), sering memukul dan menendang tanpa alasan bahkan terkadang saat memegang benda juga digunakan untuk melempar atau memukul, makan sambil berlarian dan berantakan seluruh makanannya, tidak memperhatikan jika diberitahu sesuatu, suka berteriak-teriak kasar, dan membanting benda-benda terutama jika permintaannya tidak segera dipenuhi, maka subjek dapat dikategorikan bahwa ia mengalami hiperaktif (ADHD). Dimana ketika subjek berada di sekolah, subjek terlihat kesulitan mengikuti proses belajar karena dia selalu saja berlari dan sulit sekali diminta duduk di kursinya. Guru dan teman-teman lain merasa terganggu karena setiap kali Bona diminta duduk, beberapa detik kemudian sudah berlari-lari lagi keliling ruang kelas sambil mengganggu temannya atau sampai keluar kelas. Maka dalam kasus ini, subjek dapat dibantu melalui pemberian terapi bermain bagi anak ADHD, yaitu Tujuan dan target setiap sesi terapi bermain harus spesifik berdasarkan kondisi dan ketrampilan anak, dilakukan dengan bertahap, terstruktur dan konsistensi. Salah satu yang perlu diperhatikan pada anak ADHD adalah sensitivitas mereka terhadap perubahan sehingga kita harus membantu menciptakan sesuatu yang rutin untuk mereka. Dalam hal ini konsistensi yang dapat diciptakan terapis misalnya dalam hal waktu, aturan bermain, tempat, dan jumlah alat permainan. Pemilihan ini harus didasarkan pada kondisi anak dan target perilaku yang dituju.
4. Pelaksanaan Terapi
Terapis dilakukan dengan beberapa tahap, dan subjek dibantu oleh seluruh anggota keluarga, khususnya ibu subjek yang harus terus berada di samping subjek. membutuhkan ruangan yang nyaman dan tidak bising serta tempat duduk yang nyaman untuk melakukan terapi tersebut. Kemudian terapis membuat target perilaku, dan beberapa perilaku yang menjadi target dalam perubahan perilaku ini adalah:
- Harapan awal dari terapi yaitu subjek mampu membereskan mainan dan barang-barang subjek sindiri. Memasukkan pensil, penghapus, dan buku ke tas setelah digunakan. (Tidak meninggalkan pensil, penghapus, dan buku di meja belajar, meja tamu, atau di ruang lain) Mengembalikan mainan ke wadahnya setelah digunakan. (Tidak melempar-lempar mainan jika tidak digunakan, jika melempar-lempar maka harus mengambil kembali dan dikembalikan ke wadahnya.)
- Mendengarkan orang lain bicara sampai selesai, Menunggu Bapak, Ibu, pembantu, atau teman selesai ketika sedang berbicara tanpa memotong.
- Mengerjakan aktivitas sampai selesai, Menggambar sampai selesai. (Tidak berganti kertas gambar atau meninggalkannya sebelum gambar selesai dibuat.)
Karena program ini berbasis pada sistem aturan maka perilaku yang menjadi target dapat beberapa (tidak hanya satu) dengan catatan setiap target perilaku akan dibuatkan aturan yang detil dan jelas tentang perilaku yang diharapkan dan tidak diharapkan (dalam program yang direncanakan).
5. Evaluasi
Kasus ini akan selalu dievaluasi dan dimonitor menggunakan lembar evaluasi dan lembar monitoring yang dibuat saat perencanaan program (contoh lembar evaluasi dan lembar monitoring terlampir). Evaluasi dan monitoring dilakukan ibu subjek sebagai manajer program dan secara berkala akan didiskusikan bersama terapis untuk melihat efektivitas dan kemajuan program tersebut. Evaluasi dilakukan dalam tahapan yang sistematis, seperti berikut:
- Harapan awal dari terapi yaitu subjek mampu membereskan mainan dan barang-barang subjek sindiri.
- Mendengarkan orang lain bicara sampai selesai.
- Mengerjakan aktivitas sampai selesai.

Kasus 2: Autis
1. Pendekatan
Pada pendekatan ini terapis memulainya dengan raport terlebih dahulu kepada subjek agar subjek merasa nyaman untuk melakukan terapi yaitu dengan memberikan pertanyaan umum seperti menanyakan kabarnya, menanyakan perasaannya selama perjalanan ketempat terapi, identitasnya dan juga memberikan pertanyaan khusus seperti menanyakan tentang minat subjek.
2. Menggali Informasi Subjek
Setelah melakukan pendekatan, terapis mencoba menggali informasi dari ibu subjek mengenai ketertarikannya untuk datang ketempat terapi tersebut, jika setelah subjek memberikan keterangan bahwa anaknya mengalami Gangguan Perkembangan. Lalu terapis dapat memulai dengan pertanyaan-pertanyaan terbuka secara mendalam mengenai gangguan perkembangan anaknya yang tersusun dalam pedoman wawancara. Selain menggunakan pedoman wawancara saat menggali informasi dari subjek terapis juga menggunakan alat tulis.
3. Memilih Terapi yang tepat
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari keluarga subjek mengenai gangguan dalam perkembangan neurologis berat yang mempengaruhi cara seseorang untuk berkomunikasi dan berelasi (berhubungan) dengan orang lain di sekitarnya secara wajar, maka subjek dapat dikategorikan bahwa ia mengalami autis. Dimana subjek mengalami gangguan yang menetap pada pola interaksi sosial, komunikasi yang menyimpang dan pola tingkah laku yang terbatas dan berulang (stereotipik) dan pada umumnya dan subjek mempunyai fungsi dibawah rata-rata. Maka dalam kasus ini, subjek dapat dibantu melalui Terapi perilaku, Terapi Biomedik.
4. Pelaksanaan Terapi
Terapis membutuhkan ruangan yang nyaman dan tidak bising untuk melakukan terapi tersebut. Pada umumnya terapi perilaku ini ditujukan untuk dua hal yaitu : (1) mengurangi atau menghilangkan perilaku yang berlebihan (mengamuk, agresif, melukai diri sendiri, teriak-teriak, hiperaktif tanpa tujuan dan perilaku lain yang tidak bermanfaat); (2) akan memunculkan perilaku yang masih berkekurangan yaitu: belum bisa bicara, belum merespon bila diajak bicara, kontak mata yang kurang, tidak punya inisiatif, tidak bisa berinteraksi wajar dengan lingkungannya/kurang mampu bersosialisasi . Terapi biomedik meliputi: (1) Pemberian obat-obatan (sesuai dengan gejala-gejala klinis/hasil laboratorium yang ditemukan). Juga bisa diberikan: psikotropika, antibiotik, anti jamur, anti virus, anti parasit; (2) Pengaturan diet tanpa pengawet, tanpa pewarna buatan, pengaturan makanan dengan cara eliminasi sementara dan rotasi, dll;(3) Pemberian Enzim pencernaan; (4) Pemberian Vitamin dan Mineral; (5) Asupan lain, misalnya asam lemak esensial, asam amino, antioksidan, probiotik, dll; (6) Perbaikan fungsi imunologi, sesuai dengan gangguannya; (7)
Chelation (Pengeluaran logam berat).
5. Evaluasi
Evaluasi dilakukan ketika tahap pelaksanaan terapi berakhir. Maka terapis dapat mengutarakan kepada subjek melalui record yang telah dicatat sebelumnya oleh terapis mengenai kemajuan apa saja yang subjek telah capai dan hal apa saja yang harus diperbaiki oleh subjek. Evaluasi dilakukan dalam tahapan yang sistematis, seperti berikut:
- Harapan awal dari terapi yaitu subjek tidak berperilaku yang berlebihan (mangamuk, melukai diri sendiri, berteriak-teriak)
- Saat terapi dilakukan, subjek merasa nyaman.
- Setelah terapi berakhir, maka subjek diharapkan mampu belajar serta meningkatkan perkembangan subjek agar sesuai atau paling sedikit mendekati anak seusianya.

Kasus 3: Kecemasan di depan Umum
1. Pendekatan
Pada pendekatan ini terapis memulainya dengan raport terlebih dahulu kepada subjek agar subjek merasa nyaman untuk melakukan terapi yaitu dengan memberikan pertanyaan umum seperti menanyakan kabarnya, menanyakan perasaannya selama perjalanan ketempat terapi, identitasnya dan juga memberikan pertanyaan khusus seperti menanyakan tentang minat subjek.
2. Menggali Informasi Subjek
Setelah melakukan pendekatan, terapis mencoba menggali informasi dari subjek mengenai ketertarikannya untuk datang ketempat terapi tersebut, jika setelah subjek memberikan keterangan bahwa ia sering kali cemas ketika berbicara di depan orang banyak. Lalu terapis dapat memulai dengan pertanyaan-pertanyaan terbuka secara mendalam mengenai rasa cemasnya ketika berbicara di depan orang banyak yang tersusun dalam pedoman wawancara serta recorder untuk merekam informasi yang dikatakan subjek, seperti menanyakan “Latar belakang dari ia merasa cemas jika berbicara orang banyak”. Selain menggunakan pedoman wawancara dan recorder saat menggali informasi dari subjek terapis juga menggunakan alat tulis.
3. Memilih Terapi yang tepat
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari subjek mengenai rasa cemasnya ketika berbicara di depan orang banyak, maka subjek dapat dikategorikan bahwa ia mengalami kecemasan berbicara di depan umum. Dimana ketika subjek berbicara di depan orang banyak ia akan menyadari bahwa kecemasannya tidak rasional, tetapi ia tetap merasakan bahwa munculnya kecemasan hanya dapat diredakan apabila ia dapat menghindari untuk berbicara di depan orang banyak. Maka dalam kasus ini, subjek dapat dibantu melalui Prosedur Desentisasi Sistematis yang didahului dengan Hierarki Kecemasan dan juga bisa menggunakan cognitive-behavioural therapy (CBT), pada CBT diberikan teknik pelatihan pernafasan atau meditasi ketika kecemasan muncul, teknik ini diberikan untuk penderita kecemasan yang disertai dengan serangan panik.
4. Pelaksanaan Terapi dan Pengontrolan
Terapis membutuhkan ruangan yang nyaman dan tidak bising serta tempat duduk yang nyaman untuk melakukan terapi tersebut. Kemudian terapis membantu subjek menyusun suatu hierarki dari mendengar cerita mengenai perasaannya untuk berbicara di depan satu atau dua orang sampai dengan perasaannya untuk berbicara di depan umum atau orang banyak. Maka setelah hierarki tersusun, prosedur desentisasi dimulai. Subjek diminta untuk duduk dengan mata tertutup di kursi yang nyaman dengan terapis menguraikan situasi yang tidak membuatnya begitu mencemaskan. Jika subjek dapat membayangkan dirinya berada dalam situasi tersebut tanpa adanya ketegangan otot yang meningkat, terapis akan melanjutkan hal atau situasi lain yang sudah tersusun dalam hierarki. Tetapi jika subjek mengalami kecemasan pada saat membayangkan suatu situasi dengan tingkat tertentu, maka subjek dilatih untuk mengkonsentrasikan pada situasi rileks, sehingga dengan melakukannya berkali-kali kecemasan subjek akan dapat dinetralkan.
Sedangkan pengontrolan dapat dilakukan saat prosedur desentisasi sistematis dilaksanakan, terapis melakukan pengontrolan ketika subjek mengalami kecemasan dalam tingkat tertentu pada hierarki kecemasan sehingga terapis dapat menenangkan subjek dalam situasi rileks.
5. Evaluasi
Evaluasi dilakukan ketika tahap pelaksanaan terapi berakhir. Maka terapis dapat mengutarakan kepada subjek melalui record yang telah dicatat sebelumnya oleh terapis mengenai kemajuan apa saja yang subjek telah capai dan hal apa saja yang harus diperbaiki oleh subjek. Evaluasi dilakukan dalam tahapan yang sistematis, seperti berikut:
- Harapan awal dari terapi yaitu subjek tidak merasakan kecemasan yang irrasional ketika berbicara di depan orang banyak.
- Saat terapi dilakukan, subjek mengalami kecemasan ketika mencapai tahap tertentu dan terapis mencoba menghadapkan subjek di depan orang banyak. Maka terapis berusaha membuat subjek berkonsentrasi pada situasi rileks, sehingga kecemasan subjek netral.
- Setelah terapi berakhir, maka subjek diharapkan untuk dapat menyesuaikan dirinya di luar situasi terapi dan subjek diharapkan dapat menaklukan rasa cemasnya ketika berbicara di depan orang banyak.