Halaman

Rabu, 12 Mei 2010

gangguan anak pedofilia (di bali)

Untuk kesekian kalinya, tepatnya pada 6 Januari 2004, masyarakat Pulau Dewata (Bali) kembali dikejutkan dengan berita tertangkapnya seorang warga asing yang melakukan perbuatan pelecehan seksual terhadap dua orang bocah.
Bagaimana tidak, karena tujuh tahun lalu kasus yang sama juga pernah terjadi di Bali yang juga melibatkan seorang warga negara asing bernama James asal Amerika Serikat. Si "bule" asal Negeri Paman Sam tersebut saat itu diduga telah "menggarap" puluhan bocah di Pulau Dewata.
Kini kasus pedofilia (pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur sesama jenis -- umumnya laki-laki) terulang kembali. Pelakunya adalah pria "bule" bernama Brown William Stuart alias Tony (52), seorang warga asing berkebangsaan Australia.
Tony yang mantan Diplomat Negeri Kangguru itu, dilaporkan telah melakukan sodomi terhadap IB (14) dan IM (16), dua bocah yang masih duduk di bangku SMP Kota Amlapura, Kabupaten Karangasem, sekitar 78 km arah Timur Denpasar.
Saat mandi bersama di Pantai Jasi, Kelurahan Subagan, Tony diduga menyodomi IB dan IM, setelah sebelumnya memaksa kedua bocah tersebut melakukan onani
Akibat perbuatannya itu, Tony kini harus mempertanggungjawabkannya di meja hijau Pengadilan Negeri Amlapura, Karangasem.
Kasus yang cukup menghebohkan itu, tidak saja menjadi sorotan media lokal maupun nasional, tetapi juga diekpos secara besar-besaran oleh media massa Australia.
Bahkan terkait kasus ini, pihak Pemerintah Australia telah menempatkan seorang perwira polisi di Bali untuk membantu menindak tegas peningkatan jumlah wisatawan yang datang untuk memperoleh seks dengan anak-anak di bawah umur.
Menanggapi kasus pedofilia yang melibatkan warga asing di Bali, psikiater Prof. Dr. dr. Luh Ketut Suryani mengatakan, fedofilia sudah lama dikenal masyarakat di luar negeri. Namun, beberapa tahun belakangan kasus serupa juga dikenal di Indonesia, menyusul terjadinya kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak kecil sesama jenis.
Di Bali khususnya, tidak kurang dari 200 anak usia antara lima sampai 13 tahun, telah menjadi korban nafsu seksual para pedofil yang umumnya berkedok pelancong dari sejumlah negara.
Anak-anak 'ingusan', terjebak dalam keganasan si 'bule' yang memiliki kelaian seksual tersebut, setelah terlebih dahulu mereka dibujuk rayu bahkan diiming-imingi uang dan hadiah lainnya.
Dalam satu kesempatan diskusi tentang pedofilia yang dihadiri sekitar 30 LSM dan perwakilan dari sejumlah kantor konsulat asing yang ada di Bali, terungkap bahwa lokasi para korban pedofilia, antara lain di kawasan Pantai Lovina Buleleng, Karangasem, Ubud, dan Bangli.
Dalam diskusi tersebut para peserta yang hadir sepakat mendeklarasikan 'perang' terhadap pelaku pedofilia. Bahkan, Suryani yang pentolan "Committee Against Sexual Abuse/CASA", menyatakan, semua pihak harus 'perang' terhadap pelaku seksual yang dapat menghancurkan masa depan anak-anak itu.
Betapa tidak hancur, ujar guru besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (Unud) itu, mengingat tidak sedikit korban yang mengalami aksi pedofilia kemudian mengalami depresi berat.
Sebagai contoh, lanjut Suryani, delapan anak korban aksi pedofil asal Italia, yang pernah dia rehabilitasi, rata-rata mengalami gangguan jiwa cukup berat.
"Mereka sering berteriak-teriak ketakutan tanpa sebab-sebab yang jelas. Ini akibat 'racun' pedofilia yang telah merasuk pada jiwa mereka," ucapnya,
Hukuman ringan
Lebih jauh dijelaskan, pedofelia awalnya dikenal setelah terjadi beberapakali kasus pelecehan seksual yang dilakukan seorang warga negara asing terhadap seorang bocah di Kuta, menyusul kasus yang sama yang dilakukan turis asal Italia terhadap seorang anak di bawah umur di Lovina, Kabupaten Buleleng.
Menurut Suryani, para korban keganasan pedofilia umumnya akan terserang gangguan secara kejiwaan dalam waktu yang cukup lama.
Sehubungan dengan itu, seluruh komponen masyarakat, terutama aparat penegak hukum, supaya menyikapi persoalan ini secara sungguh-sungguh. Artinya, ada upaya untuk memberantas para pelaku aksi kejahatan seksual tersebut sampai ke akar-akarnya.
"Kenapa masih ada pedofil yang berkeliaran bebas dan siap mencari sasaran ke tempat lain (tidak jera)? Karena, sanksi hukum terhadap pedofil di negara ini relatif ringan. Berbeda dengan di luar negeri, seperti Australia hukuman terhadap pedofile sangat berat -- hukuman kurungan badan bisa mencapai 15-20 tahun," katanya.
Pada bagian lain, Suryani menyarankan agar Pemerintah Indonesia melalui konsul-konsulnya yang ada di luar negeri menggalang satu kerjasama tukar-menukar informasi dengan negara lain, terkait penanggulangan pedofilia. Dan terhadap warga asing yang melakukan pedofilia agar dideportasikan setelah sebelumnya diproses secara hukum.
Direktur Reserse Kriminal Polda Bali, Kombes Boy Salamuddin dalam sebuah lokakarya mengenai "Fenomena Paedofile dan Upaya Penanggulangannya" di Denpasar belum lama ini, mengakui ada tujuh daerah yang telah menjadi pergerakan paedofil, yaitu Gerokgak, Lovina, Air Sanih, Sasri, Kuwum (Kabupaten Buleleng), Kubu dan Candi Dasa (Kabupaten Karangasem).
Sementara itu, hasil penelitian yang pernah dilakukan pihak Yayasan Anak Indonesia (YAI) mengungkapkan bahwa aksi kejahatan pedofilia sebetulnya telah berlangsung selama dua generasi di Bali. Sedang para pelaku dari aksi itu, diperkirakan telah mencapai ratusan, namun belakangan yang masih berkeliaran di Bali sebanyak 13 orang.
Pihak YAI sudah menyerahkan data tentang pelaku sebanyak itu kepada polisi, namun hingga kini pelakunya belum semuanya berhasil ditangkap atau diambil tindakan.
Salah satu pedofil yang berhasil diringkus petugas, adalah Mario Mannara (57), turis asal Roma, Italia. Namun disayangkan, Mario hanya dijatuhi hukuman empat bulan penjara, dan kini telah kembali berkeliaran sekaligus tidak diketahui rimbanya.
Dengan demikian, jadilah "Hantu" pedofilia kini terus bergentayangan mencari mangsa dan sekaligus mengusik ketenangan bocah-bocah di Pulau Dewata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar